#22. Mengukur Risiko Reksa Dana (1) – Beta dan Standar Deviasi

Pada artikel sebelumnya, telah dibahas mengenai jenis-jenis risiko reksa dana. Pertanyaannya, bagaimana cara mengukur risiko tersebut sehingga investor dapat membandingkan satu sama lain?

Referensi Bab 21 : Mengenal Risiko Reksa Dana

Yang dimaksud dengan mengukur risiko adalah menyatakan risiko tersebut dalam satuan kuantitatif (angka atau persentase). Dengan demikian, risiko suatu reksa dana dengan reksa dana lain dapat dibandingkan secara setara.

Risiko peraturan atau regulation risk relatif sulit diukur karena sifat suatu peraturan biasanya hanya one-time effect. Setelah itu pasar akan melakukan penyesuaian dengan cepat. Selain itu, peraturan yang keluar berbeda dari waktu ke waktu dan sifatnya bisa positif dan bisa negatif sehingga sulit untuk diukur.

Risiko likuiditas dan risiko wanprestasi bisa diukur apabila investor memiliki akses informasi terhadap keseluruhan isi portofolio reksa dana. Namun hal ini cenderung sulit karena data isi portofolio secara keseluruhan tidak dipublikasikan dan isinya bisa berubah dari waktu ke waktu tergantung pada situasi dan kondisi.

Oleh karena itu, tinggal satu jenis risiko yang bisa diukur secara kuantitatif yaitu risiko pasar atau market risk. Risiko ini dapat diukur dengan catatan tersedia data historis yang memadai.

Dalam berbagai teori pengukuran risiko yang dikembangkan oleh para akademisi biasanya berfokus pada risiko ini. Sebab risiko-risiko lain dianggap sangat jarang terjadi dan sifatnya hanya sementara saja, sementara jenis risiko ini yang ditanggung oleh investor selama periode berjalannya investasi.

Satuan yang digunakan untuk mengukur risiko pasar adalah standar deviasi dan beta. Untuk memudahkan pemahaman terhadap kedua satuan tersebut, diberikan ilustrasi kinerja reksa dana saham (RDS) dan IHSG :

Tahun pertama RDS +10% IHSG +5%

Tahun kedua RDS +30% IHSG +15%

Tahun ketiga RDS -10% IHSG -5%

Standar Deviasi

Dalam bahasa statistik, standar deviasi adalah penyimpangan dari rata-rata. Rata-rata bisa dihitung dari penjumlahan data dibagi jumlah datanya. Dengan menggunakan contoh kasus di atas, rata-rata untuk reksa dana saham adalah 10% + 30% + (-10%) = 30% kemudian dibagi 3 yaitu 10%.

Untuk menghitung standar deviasi, dapat dilakukan dengan menggunakan rumus statistik. Namun hal ini mungkin sulit untuk dipahami oleh anda yang awam tentang perhitungan karena menggunakan akar kuadrat.

Untuk memudahkan pemahaman mari kita lihat angka rata-rata, tertinggi dan terendahnya yaitu masing-masing 10%, 30% dan -10%. Jika anda perhatikan jarak dari rata-rata ke angka tertinggi dan rata-rata ke angka terendah sama yaitu 20%. (30% didapat dari rata-rata ditambah 20% dan -10% didapat dari rata-rata dikurangi 20%).

Karena standar deviasi merupakan penyimpangan dari rata-rata, maka angka 20% merupakan nilai “standar deviasi”nya. Semakin besar nilai standar deviasi, berarti kinerja reksa dana akan “terdeviasi” semakin besar dari rata-ratanya.

Oleh karena itu, semakin besar angka standar deviasi reksa dana semakin besar pula risiko suatu reksa dana. Sebab jika rata-rata dari reksa dana dianggap sebagai proyeksi return di masa mendatang, maka anda berpotensi mendapatkan kinerja yang jauh dari angka tersebut karena adanya standar deviasi.

Pada prakteknya, angka standar deviasi tidak memiliki makna yang luas jika hanya berdiri sendiri. Dala penggunaannya, angka ini dibandingkan dengan return yang dihasilkan oleh reksa dana atau dibandingkan dengan standar deviasi reksa dana lain.

Dengan cara hitung yang sama, jika diterapkan pada IHSG, anda akan mendapatkan standar deviasi IHSG sebesar 5%. Dibandingkan dengan standar deviasi reksa dana yang sebesar 20%, bisa diartikan bahwa risiko reksa dana saham lebih tinggi daripada risiko IHSG.

Beta

Dalam bahasa statistik, beta disebut juga dengan koefisien regresi. Dalam bahasa awam, koefisien regresi adalah suatu angka yang menunjukkan pengaruh dari suatu angka terhadap angka lainnya. Dalam konteks investasi pengaruh kinerja IHSG terhadap kinerja reksa dana saham.

Untuk menghitung angka koefisien regresi, terus terang rumusnya lebih njelimet dibandingkan menghitung standar deviasi karena menggunakan pembagian antara covarian dengan varian. Bagi anda yang awam atau sudah lama lulus dari dunia perkuliahan, biasanya selalu beralasan kemarin enggak tahu hari ini lupa.

Jadi untuk menjelaskan perhitungan beta, mari kita lihat angka perbandingan di atas. Sebagai contoh, perbandingan antara kinerja reksa dana saham dengan IHSG selama 3 tahun adalah RDS +10% vs IHSG +5%, RDS +30% vs IHSG +15%, dan RDS -10% vs IHSG -5%.

Terdapat pola bahwa kinerja reksa dana saham selalu 2 kali lipat daripada kinerja IHSG baik dalam kondisi untung ataupun rugi. Jadi ibaratnya kalau IHSG turun 5%, maka kita harus siap-siap reksa dana saham ini turun 10%. Sebaliknya juga ketika naik.

Secara teori, semakin tinggi beta semakin besar pula risiko reksa dana dan sebaliknya. Berbeda dengan standar deviasi yang hanya bisa dipakai dengan membandingkannya dengan return atau standar deviasi reksa dana lain, angka beta sudah bisa dipakai sendiri tanpa harus membandingkan.

Angka beta di atas 1 menunjukkan risiko reksa dana saham lebih tinggi dibandingkan IHSG dan sebaliknya untuk angka beta di bawah 1. Namun jika investor mau membandingkan dengan beta reksa dana saham lain juga bisa.gambar 22 copy

Leave a comment